BERITAMAGELANG.ID - Badan Riset dan Teknologi Indonesia (BRIN) menggelar Bincang Budaya bertema 73 Tahun Asa Sang Garda Terakhir Sucoro, Ruwat Rawat dan Konggres Borobudur di Aula Gedung BRIN Kapling Janan Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang Selasa (01/10/224).
Diskusi menarik tersebut menghadirkan sejumlah pembicara seperti dari BRIN, Museum Dan Cagar Budaya (MCB) Unit Borobudur, Bumi Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), Arkeologi, Pemerhati Kebijakan Kebudayaan, Pelaku seni budaya, UMKM dan lainnya.
Koordinator MCB Unit Borobudur Wiwit Kasiyati mengatakan kegiatan ini sangat penting bagaimana aktualisasi relief Candi Borobudur menjadi inspirasi produk budaya maupun kerajinan.
Apalagi, lanjut Wiwit, kita sama sama mempunyai tugas pelestarian seperti yang dilakukan Bapak Sucoro dengan Ruwat Rawat Borobudurnya. Dalam hal ini MCB juga tidak bisa bekerja sendiri namun juga membutuhkan ilmu ilmu yang lain.
Saat ini, imbuh Wiwit, atas dedikasi Bapak Sucoroo juga aspek Marwah Candi Borobudur kini lebih baik dan tertata.
"Borobudur ini baik fisik maupun non fisik bisa digali nilai spiritualitasnya. Sucoro banyak yang telah dilakukan dengan nilai spiritualitas Borobudur untuk lebih dikuatkan tradisi di masyarakat," ungkap Wiwit dalam diskusi tersebut.
Dalam kesempatan itu sejumlah sumber mengungkapkan Candi Borobudur bersifat universal milik masyarakat dunia. Sehingga tidak saja pembahasan kawasan yang komplek namun juga nilai spiritual budaya yang mengiringinya.
Maka dari perjalan panjang 73 tahun kiprah Sucoro, dari loper koran yang kritis terhadap dinamika budaya pariwisata Borobudur selalu memberikan wacana yang lebih kedepan merefleksikan diri untuk lebih tulus melestarikan Borobudur.
Salah satu pelaku wisata Borobudur Nuryanto mengatakan Borobudur bisa menjadi api angin bahkan foto diri. Maka diharapkan ada hati ada narasi dalam pemanfaatan pengembangan Borobudur yakni dengan melibatkan masyarakat disekitarnya .
Borobudur dibangun melalui rasa keikhlasan untuk menciptakan kedamaian yang direfleksikan pada reliefnya. Namun saat ini berbeda dimana banyak kebijakan Tidka melibatkan masyarakat.
Dari relief pling bawah Kamarhatu, Rupadhatu, Arupadatu yang puncaknya adalah kosong. Itu adalah untuk penyadaran diri agar hidup itu selalu sadar dalam mengelola sebuah obyek cagar budaya pariwisata seperti sekarang ini tidaklah mudah.
"Maka dari itu, pentingnya ada konsep nilai spiritual dalam pengembangan kawasan Borobudur," terang Sucoro.