Teater Kaki Lima Jepang: "Puchi Mari Mari" Dekatkan Seni pada Masyarakat

BERITAMAGELANG.ID - Teater Kaki Lima Puchi Mari Mari menggelar pentas di Sanggar Bangun Budaya, Desa Sumber Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang, Sabtu (22/2/2025). Dari Jepang, membawa seni pertunjukan dekat ke masyarakat.


Sesuai namanya: Kaki lima, pertunjukan teater Puchi Mari Mari jauh dari kesan 'wah'. Tanpa properti, pertunjukan mereka digelar simpel dengan pilihan cerita yang ringan-ringan saja.


"Kami ingin mengenalkan teater kepada semua orang. Mereka yang tidak bisa masuk teater atau panggung besar, kami bawakan teater kepada mereka secara langsung," kata Hotaka, anggota Puchi Mari Mari paling senior.


Membawa semangat mendekatkan seni teater kepada masyarakat, Puchi Mari Mari rutin menggelar pentas jalanan di Tokyo dan Shizuoka sepekan sekali.


Pentas jalanan yang dimaksud adalah menggelar pertunjukan di tempat-tempat yang bukan tempat seni. Bisa di rumah warga, kantor atau rumah makan.   


Teater Jalanan


Teater jalanan sesunguhnya bukan hal yang umum di Jepang. Pertunjukan teater di Jepang biasanya dipentaskan di gedung atau panggung-panggung besar.


"Karena itu kami menyebut kelompok kami teater kaki lima bukan restoran yang mahal. Menyenangkan menggelar pertunjukan untuk orang-orang di jalanan," lanjut Hotaka.


Hotaka sudah 19 tahun malang melintang di dunia teater. Keinginannya yang besar untuk melakukan sesuatu bagi orang banyak, membawanya ke pentas jalanan.


Pertunjukan teater Puchi Mari Mari digelar simpel tanpa beban. Satu-satunya properti yang mereka kenakan hanya baju dan celana hitam yang dipakai pada setiap pementasan.


Menurut mereka, pakaian hitam membantu penonton berimajinasi tentang tokoh-tokoh dalam cerita. Tidak perlu kostum khusus, para pemain dapat bebas berganti peran sesuai bayangan masing-masing penonton.


Begitupun dengan tema dan alur cerita. Puchi Mari Mari mengangkat kisah-kisah dongeng yang tidak terbebani gagasan khusus terkait politik atau sosial budaya tertentu.  


"Kami sebenarnya cuma ingin bersenang-senang. Tidak benar-benar ingin meluaskan (minat mengembangkan) teater untuk masyarakat semua. Tapi kalau kami berhasil melakukan itu ya nggak masalah," kata Hotaka.


Puchi Mari Mari beranggotakan enam orang personel. Hotaka, Honami, Akane Kawarasaki, Tamae Shoji, Haruton, dan seorang peserta pertukaran pelajar Indonesia-Jepang, Muhammad Ilham Raihanur.   


Bebas Ruang Pentas


Selama 10 hari tur pertunjukan di Indonesia, Ilham sekaligus menjadi penerjemah bagi anggota lainnya. Dia ikut ambil peran dalam cerita "Bangau Membalas Budi", "Kapak Emas", dan "Tiga Lembar Jimat". 


Di Sanggar Bangun Budaya, Dukun, Magelang, Puchi Mari Mari mementaskan cerita "Kelinci dan Kura-kura", "Putri Duyung", serta "Lobak Besar".


Sesuai misi pergerakan Puchi Mari Mari yang bisa menggelar pertunjukan dimanapun, pilihan tempat pentas Puchi Mari Mari selama di Indonesia menjadi sangat fleksibel.


Kadang di sanggar atau tempat komunitas seni. Tapi bisa juga di penjara, panti jompo atau pusat belajar anak yang diberdayakan oleh komunitas.


Di Yogyakarta misalnya, Puchi Mari Mari mengadakan pertunjukan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wirogunan, Panti Wreda Hana, dan Sekolah Ramah Anak SPS Buah Hati Bunda.


Di Kabupaten Magelang, selain di Sanggar Bangun Budaya, pertunjukan digelar di komunitas kesenian rakyat Dusun Dadapan, Desa Ketep, Sawangan. Di sini anggota Puchi Mari Mari akan berdiskusi bersama warga, sekaligus menikmati matahari terbit di lereng Gunung Merapi dan Merbabu.         


"Kami melihat pergerakan Puchi Mari Mari dan potensi jejaring hidup kami secara personal. Beberapa komunitas, tapi ada juga yang sifatnya pertemanan tapi punya space yang dikelola," kata pegiat seni Institut Hidup, Aik Vela Pratisca.


Aik bertanggung jawab mengatur jadwal pentas Puchi Mari Mari selama tur di 12 titik di Yogyakarta, Solo, dan Magelang. Selama itu ia melihat kelompok teater ini memungkinkan membuka ruang kesenian alternatif di tempat yang bisa dibilang bukan tempat seni.


Tanpa Wacana Muluk


Menurut Aik, Punchi Mari Mari juga tidak memiliki wacana yang muluk-muluk tentang seni teater. Bebas dari konsep dan gagasan yang umumnya membatasi gerak seni teater, kelompok ini justru bisa mengasah kepekaan.


"Basisnya mereka membawa teknik dasar akting. Ekspresi, gerak, meniru, bahasa, itu semua dilakukan secara mengalir. Tidak dikotak-kotak. Mereka bermain untuk mengasah kepekaan," ujar Aik.


Cerita yang diangkat juga beririsan dengan dongeng yang akrab bagi masyarakat Indonesia. Puchi Mari Mari seperti menceritakan cerita anak-anak untuk didengar oleh para anak.


Pujian harus diberikan kepada para personel karena mereka mementaskan teater menggunakan bahasa Indonesia. Selain Hotaka, anggota lain sangat terbatas memahami bahasa kita.


Tamae Shoji bahkan baru pertama kali ke luar negeri. Kerja keras mereka untuk menghafal naskah cerita berbahasa Indonesia harus diapresiasi.   


"Cerita kura-kura dan kelinci di dongeng anak-anak (kita) kan juga ada. Mereka seperti menceritakan cerita anak untuk didengar oleh para anak. Sangat dekat, imajinatif," tutupnya.